LBH Pers : Serangan Terhadap Jurnalis Meningkat di Tengah Pandemi Covid-19

FOTO : Ilustrasi jurnalis.

DN7 | Jakarta -
 
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin menyatakan pihaknya bersama Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melakukan penelitian terkait kebebasan dan keselamatan jurnalis di tengah pandemi Covid-19. 
 
Penelitian tersebut dilakukan dengan metode nonprababilistik dengan accidental sampling dan dilakukan secara daring. 
 
Kata dia, berdasarkan hasil penelitian tersebut 24 persen dari 125 responden mengaku pernah menerima berbagai serangan saat melakukan kerja jurnalistik.
 
Jumlah tersebut kata Ade, mengalami peningkatan dan salah satu faktornya yakni ketika para jurnalis melakukan peliputan demonstrasi.
 
"Prediksi kami di tahun 2019, wilayah yang cukup rentan bagi jurnalis adalah saat melakukan peliputan demonstrasi," kata Ade dalam diskusi virtual, Kamis (21/1/2021).
 
Lanjut dia, kekerasan yang dialami jurnalis seperti penangkapan mengalami peningkatan sebanyak 19 kasus yakni terkait pada tahun 2020. Lalu, untuk intimidasi mencapai 51 kasus.
 
Kemudian, Ade menyatakan kasus kriminalisasi yang sering dialami jurnalis karena dilaporkan menggunakan UU ITE. Bahkan, sebanyak 16 persen mengamalkan serangan non fisik hingga digital, salah satunya yaitu doxing.
 
"Serangan siber yang kami catat itu mayoritas karena memang aktifitasnya melakukan peliputan terkait dengan pandemi," ucap dia.
 
Peneliti Hukum ICJR Mulki Shader mengatakan sebanyak 28,8 persen jurnalis mengaku pernah mengalami penghalangan terkait hasil peliputan.

Kata dia, pelaku penghalangan peliputan tersebut paling banyak oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebesar 27,8 persen.

"Lalu 25 persen oleh kepolisian, 13,9 persen yaitu masyarakat sipil, 38,4 persen jurnalis juga mengalami penolakan akses informasi dan dokumen. 85,4 persen dari penolakan akses informasi adalah terkait dengan penerbitan mengenai Covid," papar dia.

Sementara itu, anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan pihaknya sepakat perlunya revisi Pasal 27 dan 28 UU ITE. Revisi itu kata dia, yakni agar tafsirannya lebih jelas dan gamblang.

"Tentu sudut pandang saya bukan dihilangkan, tetapi direvisi untuk memberikan menciptakan pagar-pagar agar tafsirnya itu tidak kita seperti memberikan cek kosong kepada penegak hukum untuk kemudian diisi sendiri, ditafsir sendiri oleh penegak hukum," jelasnya.
 
Editor : Diko

 
 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel