Konflik Harimau di Langkat Harus Jadi Tanggung Jawab Bersama

FOTO : Sumatra Tropical Journalist (STFJ) Sumut gelar diskusi.

DN7 | Medan -
 
Konflik Harimau Sumatra (Panthera Tigris Sumatrae) yang terjadi Kabupaten Langkat menjadi polemik yang pelik. Konflik pun kian memanas saban hari. Ternak warga jadi korban dimangsa Si Belang.
 
Konflik paling banyak terjadi di Kecamatan Besitang, Batangserangan dan Bahorok. Beberapa hari terakhir, jumlah ternak warga yang dimangsa kian banyak. Lima ekor lembu milik warga Dusun Batu Katak, Desa Batu Jonjong, Kecamatan Bahorok, mati dalam satu malam pada Senin (11/1/2021). Kebanyakan mendapat luka gigitan di leher dan cakaran.
 
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatra Utara mencatat, sepanjang 2020 hingga Januari 2021, lebih dari 20 konflik harimau dengan manusia. Bahkan di antaranya juga memakan korban jiwa.
 
Dengan konflik yang terjadi, para jurnalis yang tergabung di dalam Sumatra Tropical Journalist (STFJ) Sumut menggagas diskusi bertajuk Telusur Jejak Harimau Sumatra di Langkat. Dalam diskusi ini STFJ mencoba menggali lebih jauh lagi, mengapa konflik semakin masif.
 
Diskusi ringan itu digelar di Sekretariat STFJ, Jalan Melinjo Raya, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan, Jumat (15/1/2021) petang. STFJ juga mengundang lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan konflif di Kabupaten Langkat. 
 
Lembaga seperti Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah I Stabat ikut hadir memberikan testimoni dan berbagai gambaran solusi. 
 
Begitu juga dengan beberapa perwakilan pegiat konservasi antara lain, Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP), Sumatra Tiger Project, Leuser Conservation Partnership (LCP) dan sejumlah jurnalis yang aktif dalam isu-isu konservasi lingkungan. Diskusi ini digelar atas kerjasama STFJ dengan Tropical Forest Conservation Action-Sumatra (TFCA-Sumatera).
 
Direktur STFJ Rahmad Suryadi menjelaskan, diskusi ini diselenggarakan berawal dari kegelisahan para  jurnalis yang melihat meningkatnya konflik harimau yang terjadi.  Bukan hanya di Kabupaten Langkat. 
 
Kasus teranyar terjadi di Dusun Sigalapang, Desa Meranti Timur, Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kabupaten Toba, Rabu (13/1/2021) lalu. Di sana, harimau  juga memangsa ternak warga.
 
“Kondisi ini tentunya menjadi tanggung  jawab bersama lintas pihak. Sehingga perlu rumusan solusi yang bijak dalam penanganannya. Paling tidak bisa meminimalisir dampak konflik yang terjadi di sejumlah daerah. Kita sebagai jurnalis juga punya tanggung jawab itu untuk bisa sama-sama berkontribusi dalam upaya konservasi lingkungan,” ujar Rahmad usai diskusi.
 
Rahmad berpendapat, sinergisitas antara lembaga begitu penting dalam upaya konservasi. Masing-masing pihak harus membangun koordinasi yang baik sehingga upaya konservasi atau pun penanganan konflik bisa terlaksana dengan maksimal. 
 
“Begitu juga dengan jurnalis yang punya tanggung jawab edukasi kepada masyarakat luas. Sehingga masyarakat juga memahami soal pentingnya menjaga alam. Manusia harus menghargai alam, supaya alam tetap baik kepada manusia,” ungkap Rahmad.
 
Sebelumnya BBKSDA Sumut menyimpulkan jika Harimau Sumatra masuk ke wilayah kelola masyarakat karena ada mangsa yang lebih mudah untuk ditangkap. Yakni ternak warga yang tidak dikandangkan.
 
Ada ratusan ternak yang memang dilepaskan begitu saja  oleh masyarakat di kebun yang dikelolanya. Sementara itu, kebun yang dikelola tersebut sebenarnya sudah masuk dalam kawasan hutan dan wilayah jelajah harimau yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. 
 
Dan bukan waktu yang sebentar masyarakat sudah mengelola kawasan yang merupakan buffer zone dari kawasan TNGL. Hal itu pun tidak dipungkiri oleh KPH Wilayah I Stabat.
 
“Kita akan terus melakukan sosialisasi kepada  masyarakat jika kawasan itu merupakan home range dari harimau. Artinya memang perlu pendekatan yang lebih intensif kepad  masyarakat,” ujar Kepala UPT KPH Wilayah I Stabat Puji Hartono.
 
Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan pada BBTNGL Rinaldo mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan tabulasi masalah mengapa harimau bisa muncul dan aktifitasnya meningkat di kawasan TNGL. 
 
Diantaranya adalah kerusakan lahan,  perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan hingga ternak warga yang tidak dikandangkan.
 
Pihaknya juga berupaya melakukan upaya persuasif kepada masyarakat untuk tidak melakukan perburuan satwa di dalam kawasan hutan. Dugaan yang mencuat adalah soal penurunan jumlah pakan satwa di dalam hutan. 
 
Sehingga harimau bisa masuk ke kawasan kelola masyarakat. Sementara, ada peningkatan populasi satwa sehingga kebutuhan paan juga semakin meningkat.
 
“Perlu sosialisasi masyarakat, disarankan masyarakat melakukan pengandangan satwa ternak,” ungkap Rinaldo.
 
Pengandangan memang menjadi salah satu solusi cepat untuk meminimalisir potensi konflik.  Meskipun para pemangku kebijakan harus membahas solusi lebih jauh agar tidak ada pihak yang tercederai. 
 
Termasuk upaya mengurangi tingkat perburuan satwa liar dilindungi. Pun begitu, solusi pengandangan ternak juga memiliki tantangan. 
 
Program Manager WCS-IP Tarmizi mengatakan, program pengandangan ternak ini terkendala lahan. Ada juga masyarakat yang memiliki ternak tapi tidak memiliki lahan untuk kandangnya.
 
“Ini menjadi PR kita bersama. Solusi lainnya yang juga bisa ditambahkan, masyarakat harus diberikan pemahaman tentang bagaimana menanam pakan ternak sendiri. Sehingga tidak lagi melepas ternaknya di perkebunan,” ungkap Tarmizi.
 
Staff Capacity Building LCP Ismail mengatakan jika, pengandangan bisa  dilakukan secara kolektif. Sehingga bisa menghemat biaya dalam pembangunannya.
 
Sementara itu, Khairul Azmi dari Sumatra Tiger Project berharap, ada satuan tugas yang dibentuk untuk penanganan konflik harimau. Kepala daerah setempat yang harusnya berkewenangan membentuk Satgas ini.  Sehingga ada langkah cepat dan koordinasi yang baik dalam penanganan konflik.
 
Kepala BBKSDA Sumut Hotmauli Sianturi menjelaskan jika harus ada upaya perubahan pola peternakan masyarakat. Tentunya, mengubah pola peternakan masyarakat juga bukan pekerjaan mudah. Harus ada kerja sama lintas pihak untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat.
 
Hotmauli pun berharap Dinas Peternakan di daerah setempat juga memberikan perhatian kepada para peternak.
 
“Mengubah pola peternakan ini sangat penting dilakukan. Sehingga masyarakat tidak lagi merasa dirugikan dengan kehilangan ternaknya karena dimangsa oleh harimau,” ungkapnya.
 
Hotmauli mengapresiasi langkah STFJ yang menggagas diskusi lintas lembaga di tengah maraknya konflik satwa.
 
“Saya pikir ini sangat bagus. Diskusi seperti ini harus sering dilakukan. Ini juga merupakan peran jurnalis untuk bisa mengedukasi masyarakat. Ke depan boleh lagi dan melibatkan stakeholder lainnya yang lebih banyak,” pungkasnya.
 
Saat ini BBKSDA bersama stakeholder lainnya juga sudah memasang kandang jebak untuk harimau. Jika masuk ke kandang jebak, maka nantinya akan dilakukan translokasi terhadap harimau tersebut.
 
Reporter : Tim
Editor : Diko

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel