Patgulipat Birokrat Sindikat Mafia Tanah di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli


DikoNews7 -

Aksi mafia tanah di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sering meresahkan masyarakat. Hal ini juga sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek mafia tanah di Sumatera Utara khususnya Kabupaten Deli Serdang bekerja secara sistematis hingga ke birokrasi pemerintahan.

Praktek mafia tanah merupakan kegiatan dilakukan lebih dari satu orang yang saling bekerja sama untuk merebut tanah orang lain.  

Modus yang biasa dilakukan oleh para mafia tanah beserta kroni-kroninya, seperti menggunakan cara-cara premanisme, pemalsuan dokumen, mencari legalitas di pengadilan, rekayasa perkara, kolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas, berdalihkan lahan milik PTPN, dan terkadang mereka tak segan-segan untuk melakukan kejahatan korporasi guna memuluskan rencana yang mereka inginkan.

Biasanya, aksi para mafia tanah tidak jauh dari persoalan sengketa dan konflik. Karakteristik yang dilakukan mafia tanah selalu sistematis dan terencana. 

Selain itu, tindakan mafia tanah biasanya dilakukan secara bersama-sama. Kehadiran mafia tanah di Kabupaten Deli Serdang tentunya bukan tanpa alasan, mereka hadir dikarenakan tiga hal, yakni rendahnya pengawasan, minimnya penegakan hukum, dan tertutup. 

Terlebih, tanah menjadi bentuk investasi dan komoditas ekonomi yang menggiurkan. Apalagi, keberadaan tanah yang selalu dibutuhkan oleh masyarakat

Persekongkolan Oknum dan Mafia Tanah Caplok Tanah Warga

Salah satu kasus mafia tanah di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara adalah pencaplokan tanah milik Merawati warga Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang.

Aroma persekongkolan jahat untuk menguasai tanah demi mendapatkan keuntungan dalam kasus pencaplokan tanah milik Merawati, semakin terkuak ke permukaan.

Sesuai Putusan Mahkamah Agung RI No.139 K/ TUN/ 2002 tanggal 21 April 2004, Merawati secara sah memiliki sebidang tanah seluas 5.200 M2 di Dusun 2 Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli ini, sudah jelas salah satu diktum putusan itu dengan tegas menyebutkan, bahwa tanah tersebut bukan bagian dari HGU PTP IX. 

Tak hanya itu, bahkan keluar Surat dari Gubernur Sumatera Utara pada saat Raja Inal Siregar masih menjabat, secara tegas melarang PTPN 2 (setelah dilebur dengan PTP IX) mendirikan bangunan apa pun di atas tanah tersebut. 

Kemudian, hal itu sebelumnya sudah diketahui oleh Kepala Desa Helvetia sesuai dengan Surat Keterangan Kepala Desa Helvetia No.016/900/DH/II/1991 tanggal 7 Maret 1991, yang di registrasi Camat Labuhan Deli No.21/SK-LD/1991 tanggal 22 Maret 1991 yang menerangkan dengan sebenarnya bahwa Merawati memiliki sebidang tanah yang terletak di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli.

Anehnya, terdapat tandatangan Komarudin (Menjabat sebagai Sekretaris Desa Helvetia), menandatangani surat pengakuan penguasaan fisik yang diajukan Rakio, atas lahan seluas 1.888 M2 yang jelas-jelas tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Mirisnya lagi, Camat Labuhan Deli, Edi Syahputra Siregar diduga turut menandatangani (mengetahui) yang terkesan mendukung pengakuan yang diajukan Rakio.

Seperti biasa, sudah menjadi skenario oknum-oknum mafia tanah yang diduga memonopoli setiap lahan eks HGU, untuk bisa mendapatkan lahan di wilayah bernilai ekonomi tinggi di Desa Helvetia tersebut.

Skenario Jahat Praktek Mafia Tanah  

Dokumen yang dinilai mengarah ke dugaan praktek mal-administrasi itulah yang kemudian diajukan ke tim verifikasi areal eks HGU PTPN II yang berbasis di Kantor Gubernur Sumatera Utara untuk diteliti dan ditetapkan besaran SPS (Surat Perintah Setor) ke PTPN II sebagai syarat untuk penghapusbukuan dari aset PTPN II.

Seharusnya, tim verifikasi melakukan pengukuran ulang terhadap objek tanah tersebut. Hal itu, ternyata tidak dilakukan, meski ada anggota tim verifikasi yang turun ke kantor Desa Helvetia dan menemui Kepala Desa H Agus Salim. 

Kepala Desa juga mengakui kedatangan anggota Tim Verifikasi. Agus Salim mengaku bahwa kedatangan mereka hanya minta tandatangan.

Skenario jahat ini pun kemudian semakin mulus, ketika Rakio menyetor SPS ke PTPN II sebesar Rp. 3,1 Milyar lebih dan PTPN II mengeluarkan surat keterangan penghapusbukuan atas aset tanah dan bangunan seluas 1.888 M2 itu yang seperti diakui Rakio seluruhnya adalah aset PTPN 2. 

Dasar Surat Keterangan yang ditandatangani SEVP Bussinis Support PTPN II yakni Syahriadi Siregar ini yang kemudian menjadi dasar proses pembuatan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang.

Semua proses penguasaan tanah di lokasi strategis ini dinilai sangat cepat. Hanya dalam hitungan beberapa bulan, masih di tahun 2022 lalu, keluarlah sertifikat hak milik atas nama Rakio yang anehnya juga dalam beberapa waktu kemudian langsung dibalik nama menjadi milik Budi Kartono alias Aliong. 

Padahal selama ini, proses awal untuk penghapusbukuan saja, setelah SPS dibayar ke PTPN II, baru bisa keluar sekitar 6 bulan. Hal ini dengan tegas diungkapkan Kabag Asset PTPN 2 M Ridho Manurung di depan anggota Komisi A DPRD Sumatera Utara beberapa waktu lalu.

Saat ini seluruh fakta-fakta di balik proses pencaplokan tanah milik Merawati di Dusun 2 Desa Helvetia, sudah disampaikan ke instansi terkait oleh Andi Ardianto selaku kuasa hukum Merawati.

Dalam hal ini, penulis berharap agar pemerintah dan aparat penegak hukum mampu membongkar dan memberantas mafia tanah di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Penulis : Ridwan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel