Menteri Agraria Diminta Mampu Bongkar Mafia Tanah di Deli Serdang


DikoNews7 -

Kasus dugaan sindikat mafia tanah di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara semakin hari kian meresahkan masyarakat.

Berdalihkan lahan PTPN II hingga penerbitan hak atas tanah secara sepihak, terjadi dalam sengketa atau konflik agraria di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang, antara Merawati dengan Rakio. 

Masyarakat Desa Helvetia menduga adanya terdapat praktik sindikat mafia tanah. Sebab, adanya dugaan persekongkolan untuk melakukan manipulasi data oleh aparatur pemerintah di Kecamatan Labuhan Deli. 

Menanggapi hal itu, sosok sesepuh (tokoh yang dituakan) di Desa Helvetia dan Desa Manunggal, yakni Kliwon menjelaskan, bahwa dirinya mengetahui betul asal usul tanah yang dipersengketakan tersebut.

Pria berusia 89 tahun itu menerangkan, tanah yang berada di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli memang benar bahwa tanah seluas bekisar 5600 meter persegi tersebut milik Merawati.

"Saya tahu betul tentang tanah itu, tahun 1953 saya sudah berada disini. Daerah ini dahulu disebut dengan nama asisten wedana, lalu pada tahun 1950-an (seingat saya) berganti menjadi Kecamatan Labuhan Deli," jelas Kliwon saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (2/1/2023).

"Tak mungkin Rakio tidak mengetahui asal usul tanah itu, dulu (Rakio Cs) pernah menggugat tapi tetap kalah oleh pihak Sabarudin yang tak lain adalah suami Merawati, dari masa Sabarudin masih hidup hingga sudah meninggal dunia, Rakio Cs terus-terusan ingin merebut tanah itu. Tapi Rakio tetap kalah, makanya ada putusan-putusan pengadilan itu hingga putusan Mahkamah Agung, dan diputuskan Merawati sebagai pemilik tanah itu," ujarnya kembali.

Saat disinggung terkait Rakio menempuh jalur nominatif untuk penerbitan sertifikat hak milik dalam menyerobot tanah milik Merawati, Kliwon mengatakan bahwa tanah di Dusun II Desa Helvetia itu di luar areal Perkebunan IX saat ini menjadi PTPN II. 

"Bukan hanya itu, perumahan eks karyawan PTPN yang disitu pun seingat saya sudah keluarkan dari areal HGU PTPN II. Tapi lahan Merawati bukan termasuk lahan PTPN. Jadi kenapa harus di nominatif kembali?," ungkap Kliwon sembari tersenyum. 

Sebab perumahan eks karyawan PTPN II dikeluarkan dari areal HGU, Kliwon lebih lanjut menjelaskan, sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kecamatan Labuhan Deli yang merupakan Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) I Kabupaten Deli Serdang diproyeksikan sebagai kawasan pendukung bagi perkembangan Kota Medan yang mengacu pada konsep MEBIDANG (Medan Binjai Deli Serdang).

"Ada lagi, yaitu himbauan dari Bupati Deli Serdang tentang lahan perumahan eks karyawan PTPN. Disinikan sudah paham, perumahan eks karyawan PTPN II saja sudah dikeluarkan dari areal HGU. Apalagi tanah milik Merawati yang jelas-jelas di luar areal PTPN dan sudah ada putusan Mahkamah Agung, kok bisa Camat Labuhan Deli ikut menandatangani penguasaan fisik milik Rakio? Tapi kalau adanya Bim Salabim, saya kurang paham itu," sebut Kliwon sembari tertawa kecil.  

Dikatakannya, jika Rakio memohonkan kepada PTPN II untuk membayar rumah karyawan (aset PTPN II), berarti mereka beranggapan itu eks HGU. Kliwon menyebut, tentu harus ada surat keterangan dari Desa Helvetia maupun Kecamatan Labuhan Deli. 

Sementara sebelumnya, masih kata Kliwon, sudah ada surat dari Bupati Deli Serdang untuk 13 Camat di Deli Serdang, satu diantaranya Camat Labuhan Deli, tentang larangan penerbitan surat keterangan tanah diatas tanah eks HGU PTPN II, berdasarkan surat nomor 593/1795 tanggal 18 Mei 2004.

"Apa bisa tanpa surat keterangan tanah dari Desa Helvetia maupun Kecamatan Labuhan Deli? Sudah jelas sudah ada larangan dari Bupati, kenapa pula Camat Labuhan Deli ikut menandatangani? Inikan melanggar peraturan," tegas Kliwon. 

Terpisah, ditengah-tengah memanasnya kabar tentang dugaan sindikat mafia tanah di Desa Helvetia, salah seorang warga di Kecamatan Labuhan Deli mengungkapkan hal yang mengejutkan. 

Warga yang enggan disebutkan namanya ini, kepada wartawan mengatakan adanya beredar kabar bahwa Budi Kartono alias Aliong mengeluarkan anggaran sebesar Rp6 Miliar untuk biaya kepengurusan lahan yang saat ini lagi di persengketakan  tersebut dengan luas tanah 1.888 meter persegi dan luas bangunan 84 meter persegi. 

Menurut warga, dari anggaran Rp6 Miliar tersebut, Rakio menerima Rp1,8 Miliar lain biaya ganti rugi eks HGU PTPN II nomor 2.5-BS/BA/27/II/2022 sebesar Rp3,1 Miliar. 

"Dari anggaran itu, perkiraan saya masih ada dana sisa Rp1,1 Miliar. Nah, itu tadi asumsi kami selaku masyarakat mempertanyakan kemana dana tersebut? 

Hal lainnya, sedangkan eks kantor PTPN II Desa Helvetia seluas 7,2 hektar pihak Citraland membayar ganti rugi tidak mencapai 1 Milyar rupiah. Malah Rakio yang hanya seluas 1.888 meter persegi membayar ganti rugi Rp3.1 Miliar, jelas ada apa dengan semua ini? ujar warga bertanya-tanya, Rabu (1/2/2023). 

"Disini menurut saya sudah jelas, saya menduga adanya sindikat mafia tanah di Desa Helvetia. Mana janji Pak Menteri Agraria untuk memberantas mafia tanah? Warga mulai menilai, Pak Menteri Agraria tak mampu membongkar mafia tanah di Deli Serdang. Kalau memang mampu, buktikanlah pak Menteri, berantas mafia tanah di daerah kami ini," pungkas warga.

Sementara itu, Merawati melalui kuasa hukumnya dari Ardianto Coorporate Law Office, dalam keterangan persnya menyampaikan, bahwa pihaknya melakukan upaya hukum dan menggugat Kepala Kantor Pertanahan / Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Deli di PTUN Medan, berdasarkan reg no. 5/G/2023/PTUN.MDN.

Direktur Ardianto Coorporate Law Office, Andi Ardianto kepada wartawan menjelaskan, keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik Nomor 2313 Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang tanggal 8 September 2022, dengan Surat Ukur Nomor 495/Helvetia/2022 tanggal 6 September 2022, luas 1.888 meter persegi yang semula atas nama Rakio kemudian berganti atas nama Budi Kartono, terletak di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang, dinilai cacat hukum. 

"Kami menggugat Kepala Kantor Pertanahan Deli Serdang, sebab telah menimbulkan akibat hukum pada penggugat yang tidak dapat lagi menggunakan dan mendapatkan hak-haknya sebagai ahli waris pemilik sebidang tanah Aquo," ujar Andi, Kamis (2/2/2023). 

Andi mengatakan, pihaknya melakukan upaya hukum karena telah menimbulkan kerugian nyata bagi kliennya selaku penggugat, sehingga penggugat mempunyai hak untuk menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.

"Sebelumnya kami sudah memohonkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang untuk membatalkan SHM nomor 02313 atas nama Rakio dan terakhir terdaftar atas nama Budi Kartono. Namun hingga gugatan ini diajukan belum ada jawaban dari Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang," tuturnya.

"Senyatanya klien kami selaku penggugat tidak pernah mengalihkan, menjual dan/atau memindahtangankan kepada siapapun, baik kepada Rakio ataupun Budi Kartono maupun kepada orang lain," pungkasnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Merawati (69) diduga menjadi korban mafia tanah yang selalu mencari celah untuk menguasai aset tanah miliknya seluas bekisar 5600 meter persegi yang berada di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli.

Hasil penelusuran dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, bahwasanya Merawati memperoleh tanah tersebut berdasarkan :

Pertama, Surat Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Sumatera Utara nomor 570-34/I/91 tanggal 3 Januari 1991, lahan di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli (tanah yang dimaksud) tidak termasuk dalam areal HGU PT Perkebunan IX yang saat ini disebut dengan nama PTPN II.

Kedua, Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Gubernur Sumatera Utara) nomor 593/12187 tanggal 11 Mei 1991, menegaskan kembali bahwa areal di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli itu tidak termasuk dalam sertifikat HGU, dan permohonan untuk membangun rumah karyawan PT Perkebunan IX (yang saat ini disebut dengan nama PTPN II) diatas tanah tersebut tidak dikabulkan.

Ketiga, Surat Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang tanggal 23 September 1989, yang menerangkan bahwa areal yang dimaksud tidak termasuk di dalam areal PT Perkebunan IX (yang saat ini disebut dengan nama PTPN II).

Keempat, Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Deli Serdang (Bupati Deli Serdang) tertanggal 29 Maret 1995, yang menerangkan tanah bekisar 5600 meter persegi tersebut adalah kepunyaan Merawati.

Kelima, Putusan PTUN No.86/G/2000/TUN-MDN tanggal 29 Mei 2001.

Keenam, Putusan Mahkamah Agung RI Reg.No.139 K/TUN/2002 tanggal 21 April 2004 jo. Putusan Pengadilan Tinggi TUN-Medan no.76/BDG.G.MDN/PT.TUN-MDN/2001 tanggal 19 September 2001.

Ketujuh, Surat Keterangan Tanah No.592.2/0157/II/2006 tanggal 20 Februari 2006 yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli, yang diregistrasi Camat Labuhan Deli no.21/SK-LD/1991 tanggal 7 Maret 1991.

Kedelapan, Perintah Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) dari PTUN Reg. No.W2.D.AT.04.10-246/2005 tanggal 12 September 2005.

Kesembilan, Putusan Perdata Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.14/Pdt.G/2006/PN-LP tanggal 8 Januari 2007.

Kesepuluh, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.115/PDT/2008/PT.MDN tanggal 09 Juni 2008.

Kesebelas, Putusan Mahkamah Agung RI No.537 K/PDT/2011 tanggal 14 September 2011.

Berdasarkan hal tersebut, sudah jelas tanah bekisar 5600 meter persegi di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli, milik Merawati yang telah berkekuatan hukum tetap, dan tidak termasuk dalam areal PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) II yang dulu disebut dengan PT Perkebunan IX.

Meskipun demikian, anehnya Kantor Pertanahan / Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Deli Serdang menerbitkan sertifikat hak milik (SHM) atas nama Rakio dan berganti dengan atas nama Budi Kartono.

Ironisnya, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Abdul Rahim, SH., MKn., menyampaikan ke salah satu keluarga Merawati bahwa tanah tersebut harus didaftarkan ke nominatif. 

Tentunya menjadi tanda tanya, apakah tanah yang sudah ada putusan dari Mahkamah Agung harus didaftarkan nominatif? 

Apalagi sebelumnya, Kantor Pertanahan Wilayah Sumatera Utara dan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang menyatakan lahan tersebut di luar areal PTPN II yang dulunya bernama PT Perkebunan IX.

Publik bertanya-tanya, Ada apa dengan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang? Apakah bisa secara hukum, terbitnya sertifikat hak milik atas nama orang lain diatas lahan yang sudah berkekuatan hukum tetap?

Perihal ini, Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang belum lama ini mengundang para pihak untuk mediasi, sesuai dengan surat undangan mediasi nomor HP.03.02/124-12.07/I/2023 tanggal 27 Januari 2023. 

Mediasi yang dipimpin langsung oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Abdul Rahim dan dihadiri pihak Merawati beserta kuasa hukumnya dan Kepala Desa Helvetia, Agus Salim. Namun, pihak dari Rakio dan Budi Kartono tidak hadir dalam mediasi.

Dalam mediasi tersebut, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Abdul Rahim tak memungkiri bahwa ada oknum-oknum di jajaran internalnya terlibat dalam penerbitan sertifikat hak milik atas nama Rakio dan menjadi atas nama Budi Kartono.

Terkait hal ini, setelah ditelusuri dengan meminta penjelasan baik dari pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang maupun pihak pemerintahan Kecamatan Labuhan Deli dan Desa Helvetia, menerangkan asal muasal terbitnya sertifikat hak milik tersebut.

Ternyata, Rakio memohonkan kepada PTPN II untuk membayar rumah karyawan (aset PTPN II) dengan surat keterangan no.2.5-BS/Ket/21/II/2022 ditandatangani oleh Senior Executive Vice President PTPN II yakni Syahriadi Siregar, tanggal 18 Februari 2022, yang menerangkan bahwa Rakio telah membayar ganti rugi eks HGU PTPN II nomor 2.5-BS/BA/27/II/2022 sebesar Rp3.109.260.000,- dengan luas tanah 1.888 meter persegi dan luas bangunan 84 meter persegi.

Anehnya, Sekretaris Desa Helvetia Komarudin menandatangani surat pernyataan penguasaan fisik milik Rakio. 

Disisi lain, sebelumnya Komarudin sebagai saksi, juga menandatangani surat keterangan tanah dengan nomor 592.2/0157/II/2006 tanggal 20 Februari tahun 2006 yang dikeluarkan Kepala Desa Helvetia, yang menyatakan tanah tersebut milik Merawati.

Dalam hal ini, kembali menjadi pertanyaan publik, Ada apa dengan Komarudin yang dinilai berperan ganda turut menandatangani surat dari kedua belah pihak, yakni surat pernyataan penguasaan fisik milik Rakio dan surat keterangan tanah milik Merawati?

Lain halnya dengan pernyataan Camat Labuhan Deli Edy Saputra Siregar kepada wartawan dalam konferensi persnya. 

Edy menjelaskan bahwasanya Komarudin menandatangani surat penguasaan fisik ketika itu sebagai Plt (Pelaksana tugas lanjutan) Kepala Desa Helvetia. 

Tidak sependapat dengan Camat Labuhan Deli, eks Kepala Desa (Kades) Helvetia Agus Sailin mengaku heran atas keterangan Camat Labuhan Deli tersebut soal Komarudin sebagai Plt Kades Helvetia.

Tidak sependapat dengan Camat Labuhan Deli, eks Kepala Desa (Kades) Helvetia Agus Sailin mengaku heran atas keterangan Camat Labuhan Deli tersebut soal Komarudin sebagai Plt Kades Helvetia.

Padahal, ketika itu Agus Sailin masih menjabat sebagai Kepala Desa Helvetia, dan Agus Sailin kepada wartawan mengaku ketika dirinya menjabat tidak adanya Plt Kepala Desa Helvetia.

Agus Sailin juga mengaku tidak mengetahui perihal adanya surat pernyataan penguasaan fisik milik Rakio yang ditandatangani oleh Komarudin.

Namun, Agus Sailin mengaku mengetahui tanah itu milik Merawati setelah adanya konflik agraria di lahan tersebut.

Mungkin menjadi tanda tanya dalam pikiran kita, Apakah bisa seorang Sekretaris Desa menandatangani surat pernyataan penguasaan fisik tanpa sepengetahuan Kepala Desa? 

Kemudian, Ada apa dengan Camat Labuhan Deli yang terkesan menutupi apa yang dilakukan Sekretaris Desa Helvetia?

Reporter : Tim

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel