Fahombo Batu Tradisi Pemuda Nias Teluk Dalam


DikoNews7 | Nias - 

Tradisi melompat batu atau sebutan orang Nias adalah Fahombo batu. Tradisi tersebut adalah pada mulanya dilakukan oleh seorang pemuda Nias untuk menunjukan bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang secara fisik. 

Penasaran dengan budaya Nias, awak media www.dikonews7.com pun menyambangi Pulau Nias Teluk Dalam beberapa waktu yang lalu. Sebelum sampai di Fahombo Batu, kita harus menaiki ratusan anak tangga

Apabila sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 meter dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka itu, sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya yang disebut Samu’i Mbanua atau La’imba Hor, jika ada konflik dengan warga desa lain. 

Tradisi lompat batu ini tidak terdapat di semua wilayah Nias dan namun hanya pada kampung-kampung tertentu saja seperti di wilayah Teluk Dalam. 

Selain itu, tradisi ini hanya boleh diikuti oleh kaum laki-laki saja, dan sama sekali tak memperbolehkan kaum perempuan untuk mencobanya mengingat lompat batu merupakan ajang ketangkasan yang nantinya bila berhasil melompat dengan sempurna yang bersangkutan akan didampuk menjadi pembela kampungnya ketika ada perselisihan dengan kampung lain. 

Oleh karena itu, begitu prestisiusnya kemampuan lompat batu ini, maka sang pemuda yang telah berhasil menaklukan batu ini pada kali pertama bukan saja akan menjadi kebanggaan dirinya sendiri tapi juga bagi keluarganya. 

Bagi keluarga sang pemuda yang baru pertama kali mampu melompati batu setinggi 2 meter ini biasanya akan menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukuran atas keberhasilan anaknya. Ucap Gea Desrat salah seorang warga Nias Teluk Dalam. Senin (16/9). 

Sambungnya, Karena suatu kebanggaan, maka setiap pemuda tidak mau kalah dengan yang lain. Sejak umur sekitar 7-12 tahun atau sesuai dengan pertumbuhan seseorang, anak-anak laki-laki biasanya bermain dengan melompat tali. 

Mereka menancapkan dua tiang sebelah menyebelah, membuat batu tumpuan, lalu melompatinya. Dari yang rendah, dan lama-lama ditinggikan. Ada juga dengan bantuan dua orang teman yang memegang masing-masing ujung tali, dan yang lain melompatinya secara bergilir. Mereka bermain dengan semangat kebersamaan dan perjuangan. Ujarnya.

Meski sudah latihan keras tidak semua pemuda bisa berhasil, akhirnya sang pemuda tersebut berhasil melewati undukan batu bersusun. Bahkan tak jarang dari mereka ada yang sampai patah tulang karena tersangkut ketika mencoba melewati batu tersebut. Tapi tak jarang pula ada pemuda yang hanya berlatih sekali dua kali, tapi langsung mampu melewati batu tersebut. 

Menurut kepercayaan warga setempat hal ini dipengaruhi oleh faktor genetika. Jika ayahnya atau kakeknya seorang pemberani dan pelompat batu, maka diantara para putranya pasti ada yang dapat melompat batu. Kalau ayahnya dahulu adalah seorang pelompat batu semasih muda, maka anak-anaknya pasti dapat melompat walaupun latihannya sedikit. 

Bahkan ada yang hanya mencoba satu-dua kali, lalu bisa melompat dengan sempurna tanpa latihan dan pemanasan tubuh. Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga dihubungkan dengan kepercayaan lama. 

Seseorang yang baru belajar melompat batu, ia terlebih dahulu memohon restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Ia mesti memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu tersebut. 

Tujuanya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab banyak juga pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan.

Lantas kenapa para pemuda yang mampu melompat batu kemudian akan menjadi ksatria dikampungnya ? Itu lantaran ketika terjadi peperangan antar kampung maka para prajurit yang menyerang harus mempunyai keahlian melompat untuk menyelamatkan diri mengingat setiap kampung di wilayah Teluk Dalam rata-rata dikelilingi oleh pagar dan benteng desa. 

Maka dari itu, ketika tradisi berburu kepala orang atau dalam sebutan mereka mangaih’g dijalankan sang pemburu kepala manusia ketika dikejar atau melarikan diri, mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon tali’anu supaya tidak terperangkap di daerah musuh. 

Itu juga sebabnya desa-desa didirikan di atas bukit atau gunung hili supaya musuh tidak gampang masuk dan tidak cepat melarikan diri, dan bagi pemuda yang dapat selamat dari perangkap musuh itulah yang kemudian akan pulang ke kampungnya dengan segala kehormatan dan dielu-elukan sebagai pahlawan. 


Reporter : Asen
Editor : Sapta


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel