Nestapa Nelayan di Pelabuhan Terbesar DIY: Dipaksa Beli BBM Mahal


DikoNews7 -

Di balik hiruk-pikuk aktivitas pelabuhan dan gemuruh mesin kapal yang bersandar di Pelabuhan Pantai Sadeng, Kalurahan Songbanyu, Kapanewon Girisubo, Gunungkidul, terselip keluhan yang tak kunjung usai dari para nelayan

Pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan perikanan terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta, pusat aktivitas ekonomi pesisir yang menampung ratusan nelayan lokal maupun pendatang.

Setiap hari, tak kurang dari 500 kapal nelayan bersandar dan berlayar dari pelabuhan ini. Mereka memasok ikan segar dari Laut Selatan untuk pasar-pasar di DIY hingga Jawa Tengah. 

Namun, di balik produktivitas tinggi itu, para nelayan harus berjibaku dengan harga bahan bakar yang tinggi, dan cuaca laut yang semakin tak menentu dalam beberapa bulan terakhir.

"Kami ini seperti hidup di jantung perikanan, tapi tetap membeli BBM dengan harga tinggi. Padahal kami nelayan kecil," ujar Sarpan, Ketua Paguyuban Nelayan Pantai Sadeng.

Ironisnya, Sadeng pernah memiliki SPBN di masa lalu. Namun saat itu, jumlah nelayan masih sedikit dan aktivitas perikanan belum seramai sekarang. 

SPBN akhirnya tidak beroperasi kembali karena dianggap belum optimal secara ekonomi. Kini, saat jumlah nelayan meningkat tajam dan pelabuhan semakin sibuk, kebutuhan akan SPBN justru menjadi sangat mendesak.

"Dulu pernah ada SPBN, tapi waktu itu belum ramai seperti sekarang. Sekarang kapal sudah ratusan, tangkapan banyak, tapi kami malah kesulitan BBM," jelas Sarpan.

Karena belum adanya SPBN yang aktif, nelayan terpaksa mengandalkan pasokan BBM dari koperasi atau sub agen yang menjual di atas harga pasar. 

Untuk jenis Pertalite atau Pertamax, mereka mengandalkan pasokan dari koperasi nelayan setempat. Sedangkan untuk solar, yang sangat dibutuhkan kapal-kapal berukuran besar, harus dibeli dari sub penyalur milik Bumdes Kalurahan Pucung.

Kondisi ini membuat biaya operasional melonjak tajam. Kapal jukung kecil rata-rata membutuhkan 10 hingga 15 liter BBM untuk sekali melaut. Sementara kapal berkapasitas 30 gross ton ke atas bisa menghabiskan hingga 20 ton solar, tergantung lamanya operasi di laut.

"Tanpa harga subsidi, biaya yang harus dikeluarkan melonjak drastis. Kalau ada SPBN, biaya melaut bisa ditekan. Sekarang hasil tangkapan bagus pun belum tentu balik modal," tambahnya.

Tak hanya harga yang tinggi, ketidakpastian pasokan turut menyulitkan. Nelayan harus antre panjang, bahkan membeli BBM eceran dalam jeriken yang kualitasnya tak selalu terjamin.

"Kalau situasi seperti ini terus, bisa menghambat aktivitas melaut dan mengancam kelangsungan hidup nelayan karena pendapatan akan dipotong dengan besarnya pengeluaran BBM," jelasnya.

Ditambah lagi, cuaca laut yang semakin ekstrem semakin memperberat beban. Ombak tinggi dan angin kencang kerap memaksa nelayan menunda atau membatalkan pelayaran, padahal modal sudah dikeluarkan.

"Sekarang kadang laut tiba-tiba buruk. Sudah keluar biaya besar untuk solar, tapi malah tidak bisa jalan karena cuaca. Rugi dobel," keluh salah satu nelayan lainnya.

Paguyuban Nelayan Pantai Sadeng pun berharap pemerintah segera turun tangan. Bagi mereka, keberadaan SPBN bukan lagi sekadar fasilitas tambahan, melainkan kebutuhan mendesak dan strategis untuk menjaga kelangsungan usaha perikanan di pesisir selatan Yogyakarta.

"Kalau nelayan terus merugi karena BBM mahal dan cuaca ekstrem, nanti siapa yang mau bertahan di laut?" pungkas Sarpan. ***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel