Terendus Mafia Tanah Bermain Terhadap Eksekusi Lahan 17 Hektar di Tanjung Mulia


DikoNews7 -

Rencana eksekusi lahan seluas 17 hektar di Lingkungan 16, 17, dan 20, Kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli, yang dijadwalkan pada 23 Juni 2025 oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan, memantik gelombang penolakan besar dari ribuan warga. 

Terendus aroma konflik horizontal kian menguat, dan kekhawatiran akan pecahnya bentrokan terbuka warga semakin nyata.

Masyarakat yang telah lama menghuni kawasan tersebut menilai eksekusi tersebut sarat kejanggalan dan terkesan sangat dipaksakan. 

Mereka menyuarakan ketidakadilan dan mengklaim tanah tersebut sebagai warisan leluhur yang telah mereka tempati sejak sebelum Indonesia merdeka.

“Kami bukan penyerobot. Kami pewaris sah. Ini tanah kami, dan kami akan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan,” tegas Agus Irianto (65), tokoh masyarakat setempat, Kamis (19/6/2025).

Isu provokasi pun menyeruak. Seorang perempuan bernama Ati, yang diduga terafiliasi dengan jaringan mafia tanah, bersama Kepling 17 berinisial TF, disebut-sebut aktif menggerakkan massa untuk mendukung eksekusi. 

Warga menduga manuver ini sebagai strategi adu domba, apalagi diketahui adanya dugaan bahwa TF menawarkan iming-iming berupa bantuan dan plesiran kepada warga tertentu untuk berpihak pada kubu eksekutor.

“Kami melihat jelas ada upaya membenturkan warga. Ini sangat berbahaya. Jangan sampai darah tumpah karena kepentingan mafia tanah,” ujar salah seorang warga Lingkungan 17.

Kegeraman warga memuncak ketika TF, sosok yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat, malah dituding menjadi jongosnya mafia tanah. 

Lebih jauh, muncul dugaan adanya figur berpengaruh bergelar Raja Laot yang mendanai upaya-upaya lobi dan mobilisasi massa demi kelancaran eksekusi.

Solidaritas warga Tanjung Mulia pun terbangun kuat. Tagar-tagar perlawanan seperti #TolakEksekusiTanah, #PrabowoTolongRakyat, #LawanMafiaTanah, hingga #NegaraHarusLindungiRakyat membanjiri media sosial dan aplikasi perpesanan, menggambarkan tekad bulat warga menolak penggusuran.

Di tengah tekanan tersebut, Kabag Ops Polres Pelabuhan Belawan, AKP Pittor Gultom, menegaskan bahwa kehadiran aparat keamanan hanya bersifat pengamanan teknis sesuai prosedur.

“Kami hanya menjalankan tugas pengamanan. Tidak lebih,” ujar Pittor singkat dalam pertemuan antara pihak kepolisian, warga, dan ahli waris bermarga Parinduri.

Namun, ketegangan di lapangan terus membara. Tanpa langkah mediasi serius dari pemerintah daerah dan aparat penegak hukum, potensi pecahnya konflik terbuka di Tanjung Mulia sangat besar. 

Publik kini menanti langkah konkret dari Wali Kota Medan hingga pemerintah pusat untuk menyelamatkan situasi yang makin mengarah pada krisis sosial.

“Negara tak boleh kalah oleh mafia. Konstitusi menjamin hak kami untuk hidup dan bertempat tinggal dengan layak,” ujar Hiber Marbun (59), warga lain yang mendesak Presiden Prabowo Subianto agar turun tangan.

Eksekusi ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga tentang keadilan sosial, identitas, dan hak warga atas tanah mereka. 

Tanjung Mulia kini menunggu, apakah negara hadir untuk melindungi rakyatnya, atau justru membiarkan mereka berjuang sendiri di tanah warisan leluhur. (Red)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel