Warga Thailand Nekat Demo Raja Walau Terancam 15 Tahun Penjara, Apa Alasannya?

FOTO : Raja Maha Vajiralongkorn dan Ratu Suthida menyapa pendukungnya di Bangkok,

Thailand, Minggu, 1 November 2020. (Foto AP / Wason Wanichakorn).
 
DN7 | Thailand -
 
Gelombang protes yang dilakukan belasan ribu warga muda Thailand sudah berlangsung sejak bulan Juli. Ini adalah salah satu protes terbuka yang menyerukan supaya lembaga kerajaan yang selama ini dianggap sakral bagi mayoritas warga direformasi.
 
Mengutip laman ABC Indonesia, Senin (2/11/2020), mereka juga meminta agar pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha yang melakukan kudeta di tahun 2014 mundur. Sejauh ini pemerintah sudah melarang demo dan menurunkan tentara di jalanan tetapi unjuk rasa tidak juga mereda.
 
Pemimpin unjuk rasa mengawali protes dengan tiga tuntutan: parlemen dibubarkan, konstitusi diubah, dan dihentikannya penindasan terhadap kelompok oposisi. Pertama, mereka menginginkan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mundur.
 
Dia adalah mantan jenderal yang memimpin kudeta di tahun 2014, dan mengatakan waktu itu bahwa militer diperlukan untuk mengembalikan keadaan setelah adanya serangkaian protes dan kekerasan.
 
PM Prayuth mengubah konstitusi guna memperpanjang kuasa militer dan juga kerajaan. Para pengunjuk rasa meminta adanya konstitusi baru guna membatasi kuasa tersebut dan meminta kerajaan direformasi, hal yang tidak berani dilakukan sebelumnya.
 
Mereka yang turun ke jalan mengatakan bahwa Raja Vajiralongkorn mendukung pemerintahan PM Prayuth setelah pemilu di tahun 2019 yang disebut pihak oposisi direkayasa agar Prayuth tetap berkuasa.
 
PM Prayuth sendiri mengatakan pemilu berjalan adil. Para pegiat juga menuduh Raja menyalahgunakan dana milik rakyat dan mencoba mempengaruhi keputusan militer dan politik.
 
Mereka juga menyampaikan petisi ke Jerman, negara dimana Raja Thailand banyak menghabiskan waktunya, untuk melihat apakah dia menggunaakan kekuasaannya ketika sedang berada di Eropa dan bila itu terjadi apakah itu sah untuk dilakukan.
 
Keresahan sebagian warga Thailand ini dimulai di awal tahun ketika pengadilan Thailand membubarkan salah satu dari dua partai oposisi karena mendapat dana ilegal dari pendiri partai tersebut yang juga merupakan salah orang terkaya di sana, Thanathorn Juangroongruangkit.
 
Pengadilan juga melarang pemimpin partai Future Forward Juangroongruangkit dan 15 anggota dewan eksekutif dari partai tersebut terlibat dalam kegiatan politik selama 15 tahun.
 
Keputusan itu menimbulkan kemarahan dari generasi muda, yang merupakan pendukung terbesar partai dan juga penentang keras sistem yang sudah ada.
 
Dalam demo pertama, para pengunjuk rasa menggunakan tema tertentu, misalnya tema Harry Potter melawan Seseorang yang tidak boleh disebut namanya, yang mengacu pada raja.
Kemudian mereka menggunakan simbol tiga jari dari film The Hunger Games sebagai simbol perlawanan.
 
Aksi ini berlangsung bersamaan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi di Thailand karena adanya pandemi COVID-19 yang membuat warga semakin marah.
 
Bulan Agustus, salah seorang pemimpin unjuk rasa, Panusaya 'Rung' Sithijirawattankul yang berusia 21 tahun muncul di depan publik dengan membacakan 10 poin manifesto menyerukan adanya reformasi.
 
Dia ditahan delapan minggu kemudian, setelah menjadi pemimpin dalam beberapa protes, dan sekarang dikenai tuduhan makar dan ditahan.
 
Meski adanya penahanan dan bahkan aturan pemerintah bahwa hanya maksimal lima orang yang boleh berkumpul, unjuk rasa terus berjalan. PM Prayuth mengeluarkan larangan untuk mencegah unjuk rasa tidak meluas, namun yang terjadi malah sebaliknya.
 
Malah semakin banyak warga Thailand yang turun ke jalan bergabung dengan para mahasiswa. Sejauh ini raja maupun pihak kerajaan belum memberikan keterangan terbuka mengenai tuntutan reformasi sistem kerajaan.

Tetapi ketika Raja menyambut ribuan orang di Istana bulan Oktober lalu, dia memuji seorang pria yang membawa gambar raja sebelumnya Bhumibol Adulyadej dalam salah satu protes anti kerajaan.

"Berani sekali, berani sekali, bagus sekali, terima kasih," kata Raja dalam video yang banyak dishare di media sosial.

Keluarga kerajaan mendapat banyak dukungan di kalangan rakyat Thailand, dan para pendukungnya mengadakan unjuk rasa tandingan dengan mengatakan bahwa kerajaan adalah institusi yang sakral sehingga harus dihormati.

Para pendukung kerajaan ini mengenakan kaos kuning dan melambaikan bendera Thailand sambil membawa potret raja dan meneriakkan kata-kata "Hidup Raja".

Warga Thailand sudah diajar sejak muda untuk menghormati kerjaaan dan tidak pernah secara terbuka mempertanyakan keberadaannya sampai awal tahun ini.

Ini sebagian disebabkan karena Raja Bhumibol Adulyadej yang pernah berkuasa lebih dari 70 tahun memang sangat dicintai di sana. Ketika raja meninggal di tahun 2016 warga Thailand betul-betul menunjukkan kesedihan mereka.
 
Thailand memiliki salah satu hukum yang disebut lese mejeste yang sangat ketat, dimana mereka yang dianggap menghina atau mengancam Raja, Ratu, dan keluarga mereka bisa dijatuhi hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Bulan Juni lalu, PM Prayuth mengatakan aturan itu tidak akan diberlakukan lagi sesuai keputusan dari Raja.

Namun belasan aktivis telah ditahan dengan tuduhan lain, antara lain penghasutan, karena keterlibatan mereka dalam protes. Tetapi pemerintah mengaku tidak menargetkan penentangnya dan mengatakan polisi hanya melakukan tugasnya untuk menegakkan aturan.

Kendati demikian, sejauh ini belum ada tuntutan pengunjuk rasa yang dipenuhi. Perdana Menteri mengatakan dia tidak mengundurkan diri atau menyerah pada 'tuntutan massa' namun mengatakan akan mendiskusikan ini di parlemen.

Para pengunjuk rasa mengatakan mereka akan terus melakukan aksi sampai adanya perubahan. Jadi, kemungkinan besar ketegangan politik di Thailand ini masih akan terus berlanjut.
 
Editor : Diko

 
 
 
 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel