Kesultanan Deli - BPRPI di Pusaran Sengketa Tanah : Penjajahan Oleh Bangsa Sendiri


DikoNews7 -

Tepat tanggal 24 September 1960, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disahkan. Kini usianya sudah 61 tahun. Usia yang terbilang tak lagi muda. Tapi masih banyak meninggalkan persoalan. 
 
Undang-undang ini seakan-akan tak mampu menjawab persoalan-persoalan agraria di negeri ini. Undang-undang ini tidak hanya gagal mendesain tata tertib pertanahan di negeri ini, akan tetapi justru menjadi sumber konflik. 
 
Konflik itu bukan semata-mata ditimbulkan oleh sikap atau perilaku masyarakatnya, akan tetapi diciptakan oleh undang-undang itu sendiri. Lihatlah redaksi Pasal 2, 3, 4, dan 5 UUPA yang meletakkan dasar-dasar hukum tanah itu mengacu kepada hukum Adat, akan tetapi dalam pasal-pasal selanjutnya mengadopsi ketentuan-ketentuan Hukum Barat peninggalan Kolonial Belanda. 
 
Di antara sekian banyak konflik pertanahan yang terus berlangsung di negeri ini, adalah konflik antara Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) dengan pihak PT Perkebunan Nusantara II (Persero) yang tak pernah berhenti selama hampir 70 tahun. Artinya konflik itu lebih tua dari usia UUPA. 
 
Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk sekadar berbagi pengetahuan tentang struktur konflik yang berlangsung yang tak mampu diselesaikan selama kurun waktu lebih dari setengah abad.

Kehadiran BPRPI

BPRPI lahir setelah hak-hak mereka untuk bercocok tanam pada satu tahun musim tanam di atas lahan perkebunan tembakau yang dikonsesikan Kesultanan Deli dengan pihak Onderneming (Perkebunan) Belanda tidak lagi dipenuhi oleh pihak perkebunan. 
 
Padahal, kewajiban untuk memberikan hak itu telah dituangkan di dalam Akte Konsesi sejak ditanda tangani oleh Pihak Kesultanan Deli dengan Pihak Perkebunan Belanda, sejak tahun 1874, untuk bidang tanah seluas 250.000 Ha yang terletak di antara dua sungai, yakni SeiWampu di Langkat dan Sei Ular di Deli Serdang.
 
Beberapa dari contoh Akte Konsesi itu adalah: Konsesi Helvetia, tanggal 5 April 1887 yang berakhir tanggal 6 April 1942, seluas 4.060 bouws atau sekitar 3.004 Ha, Konsesi Medan, Marendal dan Sempali, pada tanggal 2 Desember 1889 yang berakhir tanggal 3 desember 1944, seluas 24.890 Bouws atau sekitar 18.418 Ha, Konsesi Batang Kowis I dan II, Senembah Maatschappiij (Konsesi Sultan Deli dengan pihak Senembah Maatschappij untuk tanah di Wilayah Batang Kowis), tanggal 7 Juni 1889 dan berakhir tanggal 8 Juni 1964, seluas 6.081 Bouws atau sekitar 4.315 Ha, Konsesi Senembah Deli, tanggal 4 Juni 1889 dan berakhir tanggal 5 Juni 1964, seluas 7.192 Bouws atau sekitar 5.103 Ha, Konsesi Goenoeng Rintih tanggal 5 Juni 1889 dan berakhir tanggal 6 Juni 1964, luasnya 81.570 Bouws atau sekitar 57.882 Ha. Sebahagian Konsesi Senembah Maatscahappij ada yang ditanda tangani oleh Sultan Serdang.
 
Salah satu klausula yang dimuat dalam Akte Konsesi itu ada kewajiban yang harus dipenuhi persahaan perkebunanan kepada Masyarakat Adat Deli, yaitu hak rakyat penunggu (opgezetenen) untuk bercocok tanam palawija (padi atau jagung) pada saat lahan tidak ditanami tembakau (masa bera) dan hak itupun tidak dipenuhi setelah kebun-kebun itu diteruskan penguasaannya kepada Perusahaan Perkebunan Negara yang kelak di kemudian hari berubah menjadi PT Perkebunanan Nusantara II (Persero) melalui UU No.86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. 
 
BPRPI adalah kawula masyarakat Adat Melayu Deli yang pada masa tanah-tanah itu sebelum dikonsesikan menggantungkan kehidupannya dari pertanian dan hasil hutan yang berasal dari tanah-tanah itu. 
 
Setelah tanah itu dikonsesikan pihak perkebunan menanami tembakau dengan menggunakan masa rotasi selama tujuh tahun. Setelah tanah selama satu tahun ditanami tembakau, tanah itu dihutankan selama tujuh tahun dan baru ditanami kembali. 
 
Pada masa penghutananan (masa bera) itulah rakyat diberikan waktu satu tahun musim tanam untuk bercocok tanam palawija. Tanah yang ditanami Rakyat Penunggu itu dibuat berjalur-jalur, karena itulah tanah tersebut disebut dengan nama Tanah Jaluran.

Dasar klaim Masyarakat Adat Melayu Deli atas lahan-lahan tanah yang dikuasai oleh PT. Perkebunan Nusantara II (Persero) adalah Akte Konsesi. Akte Konsesi itu adalah perjanjian pemakaian lahan untuk tanaman tembakau antara Kesultanan Deli dengan Onderneming Belanda.
 
Kewajiban pihak ondernimg dalam perjanjian itu antara lain adalah;
 
1. Tetap memberikan hak kepada Rakyat Penunggu (opgezetenen) untuk bercocok tanam palawija (padi atau jagung), selama masa bera untuk satu musim tanam,
 
2. Mengizinkan Rakyat Penunggu untuk mengambil materil bangunan berupa batu kerikil atau pasir di sungai yang berada di areal konsesi,
 
3. Untuk tidak menebang pohon tuaalang (Kayu Raja), tempat lebah bersarang dan rakyat dibebaskan untuk mengambil madunya,
 
4. Mengizinkan rakyat untuk melintasi jalan-jalan di tengah kebun yang menghubungkan satu kampung dengan kampung yang lain,
ADVERTISEMENT
 
5. Membayar uang pemakaian lahan yang besarnya telah disepakati yang besarannya berbeda-beda untuk tiap-tiap lokasi sebagaimana tertuang dalam kesepakatan antara kedua belah pihak,
 
6. Mengembalikan kepada Sultan untuk bidang-bidang tanah yang dikonsesikan tetapi tidak lagi dipergunakan untuk menanam tembakau atau untuk mendirikan bangunan-bangunan kantor dan rumah karyawan,
 
7. Mengembalikan kepada Sultan untuk bidang tanah yang sudah berakhir masa konsesinya, namun tidak lagi diperpanjang oleh pihak onderneming.
 
Akte Konsesi antara Sultan Deli dengan Deli Maatschappiij ditanda tangani oleh Sultan Deli, mewakili pemilik tanah dan Jacob T Cremer mewakili perusahaan. 
 
Tampaklah bahwa perikatan itu merupakan perikatan perdata murni. Ada para pihak, ada hak dan kewajiban para pihak. Ada tanggal mulai berlakunya kontrak dan ada tanggal berakhirnya kontrak. Rakyat Penunggu ingin menegakkan hak-haknya kembali pasca lahan-lahan itu dikuasai oleh pihak PT Perkebunan Nusantara II (Persero). 
 
Sebelum proses nasionalisasi, pihak Rakyat Penunggu terus memasuki lahan-lahan perkebunan menuntut pengembalian hak-hak mereka di atas lahan perkebunan itu. Hak-hak atas tanah jaluran. Hak untuk bercocok tanam pada satu musim tanam pada saat lahan tidak ditanami tembakau. 
 
Akan tetapi pihak PT Perkebunanan Negara (pada waktu itu bernama PNP IX) terus mendesak Rakyat Penunggu untuk keluar dari lahan. Inilah yang melatarbelakangi hingga Rakyat Penunggu menghimpun dirinya dalam satu organisasi yang diberi nama Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI).
 
Organisasi ini didirikan ada tahun 1956 yang dikukuhkan oleh Sultan Deli di Istana Maimoon. Ketua pertamanya adalah Ustaz Abdul Kadir Nuh. Setelah beliau wafat pimpinan beralih kepada Afnawi Nuh (Abah Nawi) dan kemudian digantikan dengan Harun Nuh (Alun) dan sekarang diketuai oleh Alfi Syahrin, Putera dari Afnawi Nuh.
 
Latar belakang pembentukan badan ini adalah karena pihak perkebunan tidak lagi memberi hak kepada Rakyat Penunggu untuk bercocok tanam padi atau jagung di atas lahan konsesi atau lahan perkebunan itu seperti yang tertuang dalam Akte Konsesi.

Nasionalisasi Persoalan Politik Bukan Hukum

Prof Solly Lubis (2014), Guru Besar Emeritus Hukum Tata Negara Universitas Sumatera Utara ketika memberi kesaksian ahli di Pengadilan Negeri Medan, mengatakan "Pemerintah harus bisa membedakan antara persoalan politik dan persoalan hukum. Nasionalisasi itu adalah persoalan politik. Hukumnya sudah jelas tanah-tanah itu tidak dapat menjadi objek nasionalisasi, karena itu bukan milik asing, bukan milik Perusahaan Belanda".
 
Kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia tak mencerminkan tindakan untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, sekalipun tindakan nasionalisasi perusahaan asing itu dapat saja dilakukan dan diterima dalam hukum Internasional sepanjang kepemilikannya memang dimiliki oleh perusahaan asing. 
 
Itupun dalam kasus Indonesia, pemerintah harus membayar ganti rugi keadaan pihak perusahaan asing. Akan tetapi terhadap objek yang disewa atau dipinjam secara hukum perdata itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, karena itu adalah milik orang lain.
 
Objek milik orang lain yang melekat pada asset itu harus dibersihkan dari klaim pihak pemiliknya. Setelah bersih mana yang merupakan aset asing mana yang milik rakyat bumi putera, barulah bisa dilakukan nasionalisasi. 
 
Tidak bisa dilakukan secara serampangan, seperti nasionalisasi yang dilakukan oleh negara terhadap perusahaan milik Belanda di atas lahan-lahan milik Kesultanan Deli, sehingga milik rakyat bumi putera ikut dinasionalisasikan.
 
Menasionalisasikan tanah milik Kawula Masyarakat Adat Kesultanan Deli adalah kebijakan yang keliru (dwaling), begitu Prof. Tamizi menulis dalam disertasinya (2013) yang berjudul "Pergeseran Hak Atas Tanah-Tanah Komunal Masyarakat Hukum Adat Oleh Pemerintah Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisai Perusahaan Belanda (Studi Terhadap Tanah-Tanah Eks Konsesi Kesultanan Deli di Areal PTPN II (Persero) Tanjung Morawa. BPRPI ingin menegakkan hak-haknya kembali pasca lahan-lahan itu dikuasai oleh pihak PT Perkebunan Nusantara II (Persero).

Terbukanya Konflik

Tahun-tahun setelah proses nasionalisasi, pihak BPRPI terus memasuki lahan-lahan perkebunan menuntut pengembalian hak-hak mereka di atas lahan perkebunan itu. Hak-hak atas tanah jaluran. 
 
Hak untuk bercocok tanam pada satu musim tanam pada saat lahan tidak ditanami tembakau. Akan tetapi pihak PT Perkebunan Negara (pada waktu itu bernama PNP IX) terus mendesak BPRPI untuk keluar dari lahan. 
 
Banyak terjadi bentrokan di lokasi perkebunan itu dan tak jarang terjadi pertumpahan darah. Anggota BPRPI banyak yang dipenjarakan, terakhir kasusnya sampai ke pengadilan. Beberapa di antaranya dapat dilihat dalam table di bawah ini.
 
Tabel:
 
Putusan Pengadilan atas Pengambilan Lahan Tidak Sah
Sumber   : Edy Ikhsan, Antan Patah Lesungpun Hilang : Kontestasi Normatif dan Pergeseran Hak Tanah Komunal dalam Perspektif Sosio-Legal (Studi pada Etnis Melayu Deli di Sumatera Utara), Disertasi, Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2012, hal. 218.
zoom-in-white
Sumber : Edy Ikhsan, Antan Patah Lesung pun Hilang : Kontestasi Normatif dan Pergeseran Hak Tanah Komunal dalam Perspektif Sosio-Legal (Studi pada Etnis Melayu Deli di Sumatera Utara), Disertasi, Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2012, hal 218.
BPRPI dalam berbagai persidangan dibela oleh pengacara kawakan pada masa itu yakni Datuk Usman dan Prof. Mariam Darus Badrulzaman. 
 
Peristiwa ini mendorong kalangan akademisi Fakultas Hukum Universitas Sumatera menggelar seminar untuk pertama kalinya yang bertemakan tentang BPRPI yang diselenggarakan pada tahun 1976 di Fakultas Universitas Sumatera Utara.
 
Seminar tersebut antara lain menyimpulkan; ada hak-hak suku Melayu dan Hak-Hak Rakyat Penunggu di atas lahan-lahan yang dikuasai oleh pihak Perkebunan Negara. Alasannya adalah karena tanah itu pada mulanya adalah milik masyarakat (hukum) adat lalu kemudian atas nama Masyarakat Adat lahan itu dikontrakkan kepada Pengusaha Perkebunan.
 
Aset perusahaan Belanda itu adalah semua yang ada di atas tanah seperti bangunan, tanam-tanaman, rel-rel, dan gerbong-gerbong kereta api, bangunan dan mesin-mesin pabrik, bangunan kantor, bangunan rumah-rumah karyawan dan semua yang ada di atas tanah. 
 
Asas pemisahan horizontal antara tanah dan asset yang dilekatkan di atasnya terpisah. Apalagi kebijakan nasionalisasi itu adalah kebijakan politik sebagaimana dapat dilihat pada penjelasan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. 
 
Kebijakan Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda adalah Keputusan Politik. Bukan keputusan juridis. Keputusan itu dilakukan sehubungan dengan penaklukan Irian Barat, di mana Pemerintah Belanda ingin menguasai sebagian dari Wilayah Indonesia, yakni Irian Barat atau Papua sekarang. 
 
Pertarungan Kabinet Juanda dalam Konferensi Meja Bundar, mengharuskan Indonesia keluar dari beberapa Konvensi Internasional. Sikap Indonesia menasionalisasikan Perusahan-perusahaan Belanda juga merupakan jawaban atas pertarungan politik itu. 
 
Oleh karena tanah bukan milik perusahaan Belanda, maka tanah tersebut tidak dapat dikenakan sebagai obyek nasionalisasi.
 
Edy Ikhsan mengatakan kebijakan nasionalisasi itu adalah sebuah kebijakan negara yang mencederai hak-hak rakyat Deli. Tindakan yang menyebabkan hilangnya ruang hidup orang Melayu Deli. 
 
Tindakan perampokan yang dilakukan Negara atas hak-hak puak Melayu dan mengundang munculnya konflik, penggarapan dan okupasi liar yang dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya tak memiliki hak kesejarahan dan hubungan magisch religious dengan tanah-tanah milik Kesatuan Masyarakat Adat Deli di kemudian hari. 
 
Paling tidak Edy Iksan mengulangi sampai tiga kali kalimat yang mengisahkan tentang okupasi liar di atas lahan-lahan milik Orang Deli itu, dalam bukunya Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum, Hilangnya Ruang Hidup Orang Melayu Deli (2015).
 
Selepas setelah seminar itu, pada tahun 1976 itu juga Prof. Mahadi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera menerbitkan buku pada tahun itu yang ia beri judul "Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Sumatera Timur (Tahun 1800-1975). 
 
Buku itu menjadi karya akademis pertama di Indonesia yang ditulis oleh Warga Negara Indonesia, yang membahas tentang hak-hak Suku Melayu. Setelah itu banyak bermunculan karya mahasiswa antara lain skripsi yang ditulis oleh Burhan Aziddin (1981) tentang Hak-Hak Rakyat Penunggu Atas Tanah Jaluran.

Penutup

Sudah 61 Tahun UUPA diberlakukan di negeri ini. Undang-undang ini disusun jauh setelah adanya konflik antara masyarakat adat Melayu dengan pihak Perkebunanan Nusantara II Perrsero. Artinya UUPA disusun tahun 1960 empat tahun sebelumnya sudah ada organisasi yang menentang penghapusan hak-hak masyarakat adat yakni BPRPI yang didirikan pada tahun 1956. 
 
Ada tuntutan dari Kesultanan Deli untuk pengembalian hak-hak keperdataannya yang dikuasai oleh Kementerian Badan Usahah Milik Negara yang belum membayar ganti rugi dan kompensasi kepada pihak Kesultanan Deli. 
 
Pemerintah sudah jauh-jauh hari mengetahui adanya konflik antara masyarakat adat Melayu dengan pihak perkebunan Negara yang meneruskan hak yang diperolehnya dari Perusahaan Belanda. 
 
Tapi pemerintah c.q Kementerian Badan Usaha Milik Negara sebagai pemegang saham seolah-olah memejamkan matanya. Kini BUMN sedang mengikat kerja sama dengan Pengembang Ciputra Group yang akan memanfaatkan lahan Konsesi Kesultanan Deli seluas 8.000 Ha. Sepertinya para kapitalis sedang menari-nari di atas jerit tangis dan derai air mata Rakyat Deli.
 
UUPA dalam pasal-pasalnya mengadopsi dan mengakui keberadaan Hukum Adat. Tentu masyarakat berharap, dengan diadopsinya asas-asas dan norma hukum adat ke undang-undang ini akan mampu melindungi kepentingan masyarakat adat terhadap hak-hak atas tanah mereka. Akan tetapi harapan itu ternyata sia-sia. 
 
Justru UUPA sendiri yang dalam normanya membuka peluang konflik itu. Hukum adat diakui, tapi pola-pola pelaksanaannya mengacu pada pola hukum Barat peninggalan Kolonial Belanda. Rakyat Deli terjajah oleh anak bangsanya sendiri.
 
UUPA yang dalam penyusunannya merujuk pada pertimbangan filosofis yang mengacu pada Tujuan Negara yang memuat kewajiban Negara untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, ternyata hanya tinggal di atas kertas. 
 
Pasal 33 UUD 45 yang dijadikan rujukan bahwa bumi, air dan ruang angkasa yang semula dimaksud digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam praktik bermakna lain.

 
 
Tulisan :  Prof. Dr. Ok Saidin SH M.Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
 
Dikutip dari : Kumparan.com
 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel