Mafia Tanah Target Operasi, Di Ring Road Manado Sulut, Putusan Inkrah Ditumbangkan

Foto : Ilustrasi.

DikoNews7 -

Masalah mafia tanah sudah jadi ancaman di Sulawesi Utara (Sulut). Kasus-kasus mereka tumbuh subur. Bahkan sampai menghambat percepatan pembangunan daerah. Hal ini menjadi pekerjaan rumah untuk segera diberantas penegak hukum.

Polda Sulut melalui Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Kombes Pol Gani Siahaan, menegaskan kasus tanah di Sulut banyak yang sudah diproses sampai ke persidangan.

“Kalau kasus mafia tanah, Polri dengan BPN dan Kejaksaan telah menentukan TO (target operasi) kasus mafia tanah, dan saat ini dalam proses dan ada satgasnya,” ungkap Gani saat dikonfirmasi, Kamis (16/03) kemarin.

Ditegaskan Siahaan, masyarakat jangan takut melapor jika merasa menjadi korban. 

“Silahkan masyarakat melaporkan ke satgas mafia tanah yang ada di kejaksaan, BPN dan kepolisian,” tandas Kombes Gani, sembari menyebutkan kasus-kasus yang melibatkan tanah hak milik juga banyak yang saat ini dalam gugatan perdata.

Terpisah, Kasus terbaru yang didapat, kejadian ini diduga melibatkan komplotan mafia tanah. Ada lahan sekira 30,1 hektare di area Ring Road Manado beralih tangan dengan cara yang agak rancu.

Lahan yang masuk register di Paal Dua ini, sudah ada putusan pengadilan nomor 57/PDT.G/22/PN.MND tanggal 9 Januari 2023. Keluarga Sambul-Sigar melawan PT B, yang awalnya keluarga Sambul-Sigar telah memenangkan tanah di daerah Ring Road tersebut.

Di sini, keluarga Sambul-Sigar sudah menang gugatan atas PT B dengan dugaan melibatkan oknum berinisial T. Tapi digugat kembali dengan menggunakan nama PT lain di lokasi yang sama, yang sebelumnya dimenangkan keluarga Sambul-Sigar. 

Nah, kali ini berbalik dimenangkan oleh pihak yang diduga merupakan oknum yang sama berinisial T, yang kali ini dia memakai sertifikat Minut.

Padahal lokasi tanah sudah berada di pemerintah kota. Bagaimana bisa pengadilan memenangkan? Ini jadi tanda awas, sebab dari lapangan sudah inkrah dengan adanya putusan pertama lalu mereka memakai nama PT lainnya.

Salah satu warga Tikala, Pinontoan yang dikonfirmasi, membenarkan tanah tersebut milik keluarga Sambul-Sigar atas nama Soleman Sambul.

“Mereka yang adalah pendiri jemaat Solagratia Tikala pertama dan pendiri jemaat Bukit Moria Tikala Baru,” katanya menambahkan daerah Paal Dua dahulu berasal dari tanah Tikala. 

“Oma dari Soleman Sambul adalah Martha Kapojos. Keluarga Kapojos yang di Minut tahu tentang posisi tanah ini,” ungkapnya.

Ini tentunya membingungkan. Muncul pertanyaan besar di tengah masyarakat. Sebab diduga lahan tersebut saat ini, diatasnya ada pembangunan salah satu perumahan elit.

Bagaimana bisa dan tiba-tiba ada perusahaan mempunyai tanah yang sangat besar di Manado. Ada apa? Ketika di sidang pertama sudah inkrah, lalu disidang kedua bisa digugat lagi.

Membuat narasi percepatan pembangunan di Sulut jangan sampai disusupi oknum-oknum ini. Sebab sangat berbahaya. Sistem peradilan juga harus waspada, jangan ada masyarakat yang tersakiti.

Terkait hal ini, pengamat hukum Sulut Delbert Mongan SH MH turut angkat bicara. Akademisi Unima ini menegaskan tidak akan mengintervensi putusan pengadilan.

“Jadi kalau saya ditanya saya bingung kenapa ada putusan seperti ini. Ini jadi tanda awas, karena diduga mafia selalu bermain di batas wilayah kabupaten/kota. Yang memang rentan dengan masalah hukum,” katanya.

Lanjutnya ditengah laju perkembangan pembangunan Sulut, masalah tanah menjadi krusial. 

“Menjadi tanda awas pemerintah karena mafia tanah diduga juga ada di BPN, dengan dugaan oknum tak bertanggung jawab Kadang bermain di tapal batas. Paling berbahaya adalah ketika registrasi tanah diragukan desa/kelurahan, padahal selalu jadi rujukan utama,” tegasnya menambahkan seharusnya registrasi tanah desa, juga ada di BPN.

“Asli ada di desa. Agar benar-benar disahkan, hukum tua yang selalu berganti-ganti, berbahaya dan bisa disalah gunakan. Ini menjadi ruang,” ungkapnya.

Dia mengusulkan seharusnya dalam tiap lima sampai sepuluh tahun, desa harus ada pemutakhiran data register tanah sesuai dengan pajak. 

“Banyak transaksi jual beli, tidak daftar kembali ke desa. Sehingga pemerintah desa sudah tidak tahu kalau pindah tangan,” tegasnya lagi.

Sebab hal ini, tambah Mongan, akan jadi preseden buruk bagi masalah tanah di Indonesia. 

“Disisi lain sistem peradilan diduga sudah dimasuki mafia tanah. Jangan heran kalau orang yang bermodal menang dan miskin kalah di pengadilan. Karena tidak memiliki pengacara, biaya pengacara tidak berbanding dengan harga tanah. Sistem ini berbahaya,” ungkapnya.

“Disisi lain masyarakat tidak tahu berperkara di pengadilan. Juga pemerintah seakan tidak mau berpihak kepada masyarakat kecil. Ini menjadi masalah krusial. Ini sekelumit yang hasil observasi tanah di Sulut,” ungkapnya dikutip dari Manado Post.

 

 

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel