Diduga Terlibat Mafia Tanah Restoran Cita Rasa Pontianak, Kejaksaan Diminta Tangkap Oknum Kantor Pertanahan


DikoNews7 -

Kejaksaan Negeri Pontianak didesak untuk segera memeriksa dan menangkap oknum pegawai Kantor Pertahanan Kota Pontianak yang diduga terlibat mafia tanah karena telah menerbitkan akta peralihan hak atas tanah dan bangunan Restoran Cita Rasa, Jalan Agus Salim Pontianak.

Dr Herman Hofi Munawar SPd SH MH, pengamat hukum Universitas Panca Bhakti menyebut, oknum Kantor Pertanahan Kota Pontianak tersebut diduga terlibat mafia tanah dalam perkara perebutan tanah dan bangunan Restoran Cita Rasa oleh para ahli waris.

“Jelas ini mafia tanah,” kata Herman Hofi Munawar, belum lama ini.

Menurut Herman, dalam perkara ini telah terjadi pemalsuan dokumen saat dilakukan akte jual beli dan ditindaklanjuti dengan pengalihan hak milik tanah dan bangunan oleh Kantor Pertanahan Kota Pontianak pada 2010 silam.

“Pembuatan akte jual beli yang dilakukan dihadapan Notaris Sulistyo SH di Pontianak pada 2010 tersebut baru diketahui ahli waris lain dan pada tahun 2014, dan diketahui terjadi pemalsuan dokumen,” ungkap Herman.

Herman menjelaskan, pertama, seakan-akan tanah dan bangunan dibeli, padahal obyek sengketa merupakan peninggalan waris dari orangtua pihak yang bersengketa.

Kedua, akte jual beli tahun 2010, terbukti tidak dilengkapi bukti pelunasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) waris.

Dikatakan Herman, poin pertama dan kedua di atas merupakan bentuk pelanggaran pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

“Karena sebidang tanah yang merupakan warisan didaftar, wajib diserahkan dokumen-dokumen, sebagiamana Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,” katanya.

William, salah seorang ahli waris pemilik bangunan dan tanah Restoran Cita Rasa turut memberikan tanggapan dan klarifikasi atas tudingan pengacara Sukardi SE SH dan Partners yang menyebut kliennya pemilik sah bangunan dan meminta Pengadilan Negeri Pontanak mengabulkan permohonan eksekusi bangunan tersebut.

Sukardi sebelumnya mengklaim bangunan serta tanah Restoran Cita Rasa dipastikan sudah sah milik empat orang, yakni pertama, Lay Yanto Lahmudin, sertifikat milik nomor 1492 tahun 1999, kedua, Moison Laila Djuita, sertifikat hak milik nomor 1494 tahun 1999, ketiga, Mauren Laila Djuita, sertifikat hak milik nomor 1551 tahun 1999, dan keempat, Meity Djuita, sertifikat hak milik nomor 1490 tahun 1999 dan sertifikat hak milik nomor 1489 tahun 1999.

William mengatakan, gugatan yang ditujukan tersebut salah alamat. Sebab, gugatan dilakukan terhadap Megawati Susanti Ngadimin, ibu kandung William yang tidak memiliki warisan terhadap bangunan tersebut, namun melainkan milik Saleh Lahmudin, ayah William yang sudah meninggal dunia tahun 2007, dan ahli warisnya otomatis William bersaudara.

Menurut William, saat ini wahli waris sedang melakukan perlawanan hukum terhadap eksekusi di pengadilan. Dia telah pula melaporkan penggelapan warisan ke Polisi Resort Kota Pontianak karena peralihan hak tanah warisan dari nenek mereka tidak pernah pihaknya ketahui dan setujui.

“Saya heran kenapa peralihan hak tanah warisan tidak melampirkan surat keterangan waris. Jadi kita tetap bertahan, agar saudara-saudara kami mendapat hak,” katanya.

William mengungkapkan kronologis bahwa bangunan di Jalan Agus Salim Pontianak Nomor 106, 108, 110 dan 112 merupakan warisan Sulaiman Bhakti yang meninggal 2013, dimana pasangan suami-istri Sulaiman Bhakti dan Atika Noiwati melahirkan 12 orang anak.

Kedua belas anak tersebut masing-masing yakni pertama Saleh Lamudin (meninggal dunia tahun 2007, sebagai orangtua William bersaudara). Kedua, Sulistiowati (sudah meninggal dunia). Ketiga, Moisson Laila Djuita, keempat, Ervina Laila Djuita, kelima, Lay Yanto Lahmudin, dan keenam, Daryanto Lahmudin.

Kemudian ketujuh, Mouren Laila Djuita, kedelapan, Keiyanto Lahmudin, kesembilan, Meiy Laila Djuita, kesepuluh, Betty Laila Djuita, kesebelas, Telly Laila, (sudah meninggal dunia) dan kedua belas, Suryani Laila Djuita.

Semua nama-nama tersebut tercatat dalam Surat Keterangan Waris Nomor 16, tanggal 5 November 2015 di Notaris Eddy Dwi Pribadi SH.

Kemudian dibuat lagi perbaikan Surat Keterangan Waris Nomor 55, tanggal 23 Mei 2018, dihadapan Notaris Eddy Dwi Pribadi SH, dimana tanah dan bangunan mencakup lima sertifikat hak milik yang masing-masing nomor 1489, 1490, 1492, 1494 dan 1551.

William menjelaskan, karena ayahnya, Saleh Lahmudin meninggal dunia pada tahun 2007, maka otomatis waris jatuh pada dirinya sebagai anaknya.

Namun pada bulan Maret 2014, William diberitahu dan diminta oleh tante dan pamannya yakni Moisson Laila Djuita, Lay Yanto Lahmudin, Mouren Laila Djuita dan Meiy Laila Djuita untuk mengosongkan bangunan dengan alasan bangunan tersebut telah dibeli mereka.

“Empat orang tante dan paman saya ini meminta mengosongkan bangunan dengan alasan bangunan tersebut telah dibeli mereka. Jadi saya terkejut,” ujar William.

Untuk mengetahui kebenaran telah terjadi jual beli, maka William dibawa ke Notaris Sulistyo (kini sudah meninggal dunia) yang merupakan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) pada proses jual beli yang terjadi pada 2010 tersebut.

Kepada Notaris Sulistyo, William saat itu pada tahun 2014 memberitahukan bahwa kakek dan nenek mereka (Sulaiman Bhakti dan Atika Noiwati) terikat perkawinan dan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Pontianak.

Adapun Saleh Lahmudin (salah satu anak kandung pasangan Sulaiman Bhakti dan Atika Noiwati) meninggal dunia tahun 2007. Sementara Sulaiman Bhakti meninggal dunia tahun 2013, dan Atika Noiwati meninggal dunia tahun 1989.

Dikatakan William, karena Saleh Lahmudin sudah meninggal dunia tahun 2007, maka ahli waris atau anak-anaknya sama sekali tidak mengetahui adanya jual beli tersebut.

“Kami bersaudara sebagai anak kandung Saleh Lahmudin tidak dilibatkan dalam penandatangan akte jual bali tahun 2010,” ujarnya.

Dijelaskan William, pihak Kantor Pertanahan Kota Pontianak, kemudian ikut membuat pengalihan hak milik dengan tidak memperhatikan asal-usul tanah.

“Tanah dan bangunan seakan murni jual beli didasarkan akte tahun 2010, padahal kami yang merupakan ahli waris para pihak, dan anak-anak Saleh Lahmudin tidak dilibatkan,” terangnya.

Menurut William, mendengar penjelasannya, Notaris Sulistyo mengatakan jika Saleh Lahmudin sudah meninggal dunia, maka ahli waris jatuh ke tangan anak-anaknya.

“Jadi saya pertegaskan pula, kami bersaudara sebagai anak kandung Saleh Lahmudin tidak pernah menandatangani akte jual beli. Namun akta jual sudah terjadi, sehingga saya diminta selesaikan secara kekeluargaan,” ujar William.

William mengatakan, tidak masalah tanah dan bangunan Restoran Cita Rasa, Jalan H Agus Salim, Pontianak djual, tapi seharusnya atas persetujuan semua ahli waris.

“Dan lagi mengingat Saleh Lahmudin sudah meninggal dunia, maka penjualan aset waris harus atas persetujuan dan tandatangan ahli warisnya,” ujarnya.

William menambahkan, pada Agustus 2014, ibunya Megawati Susanti Ngadimin digugat di Pengadilan Negeri Pontianak, dimana dalam gugatan tersebut Megawati Susanti Ngadiin diminta menyerahkan dan meninggalkan rumah yang telah dibeli oleh tante dan pamannya.

Namun putusan atas gugatan nomor 124 dari Meity Laila Djuita kepada ibunya di Pengadilan Negeri Pontianak tersebut menurut William tidak dapat diterima (niet on vankelijk veerklaard), kemudian dikuatkan di Pengadilan Tinggi Pontianak.

Namun putusan kasasi di Mahkamah Agung menerima sebagian dan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.

“Akta jual beli nomor 43 dan nomor 44 di Notaris Sulistyo, SH pada tanggal 8 April 2010,” jelas William.

Kemudian gugatan nomor 125 yang dilakukan tantenya Mouren Laila Djuita terhadap ibunya di tingkat Pengadilan Negeri Pontianak, juga sama putusannya tidak dapat diterima. Kemudian Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pontianak.

Putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pontianak. Akta jual beli nomor 45 di Notaris Sulistyo, SH pada tanggal 8 April 2010.

Selanjutnya gugatan nomor 126 dari Lay Yanto melawan ibunya Megawati Susanti Ngadimin perkara dicabut.  Akta jual beli nomor 42 di notaris Sulistyo pada tanggal 6 April 2010.

Kemudian gugatan nomor 127 dari tantenye Moisson Laila Djuita terhadap ibunya dengan putusan ditingkat Pengadilan Negeri Pontianak tidak dapat diterim (Niet on vankelijk veerklaard). Pengadilan Tinggi Pontianak menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pontianak.

Kemudian di tingkat Mahkamah Agung, menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Akte jual beli No.46 di notaris Sulistyo, SH pada tanggal 8 April 2010.

“Pada tahun 2010 saudara ayah saya yang masih hidup saat itu berjumlah 10 orang dari 12 bersaudara,” ujar William.

Dikarenakan pada saat jual beli dilakukan yang hadir hanya tujuh orang saja yaitu Moison Laila Djuita, Ervina Laila Djuita, Lay Yanto, Meity Laila Djuita, Mouren Laila Djuita, Kieyanto dan Telly Laila Djuita.

Maka dibuat surat pernyataan oleh tiga orang yang tidak hadir pada saat jual beli berlangsung yaitu Daryanto, Betty Laila Djuita dan Suryani Laila Djuita untuk tidak menuntut akta jual beli yang telah dibuat. Surat pernyataan ini dibuat pada 28 Juni 2010, nomor 12 di hadapan notaris Sulistyo, SH.

“Kami tante dan paman ingin menjual aset peninggalan kakek dan nenek kami, semua ahli waris dilibatkan,” kata William.

“Uang hasil penjualan pula harus dibagi rata bagi 12 anak dan ahli waris dari anak-anak Sulaiman Bhakti dan Atika Noiwati,” ujar William dilansir dari suara pemred.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel